Tabuik: Mengenang Kematian Imam Husein


Tabuik: Mengenang Kematian Imam Husein

Liputan6.com, ParPariaman: Muharam singgah di Pariaman, kota kecil kawasan bibir pantai Sumatera Barat. Inilah salah satu bulan istimewa kaum muslim. Periode yang merekam berbagai peristiwa sejarah besar keislaman. Sebagai kota yang mayoritas penduduk memeluk agama islam, Pariaman menjadi satu-satunya daerah selain Bengkulu, yang sibuk menyambut Muharam. Kesibukan itu terkait prosesi besar bernama Tabuik. Tabuik adalah ritual adat untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali.
Pariaman : Husein tewas ketika memimpin pasukannya saat bertempur melawan kaum Bani Umayah di Padang Karbala. Tanggal 190 Muharam tahun 61 Hijriah, atau 10 Oktober 680 Masehi, Husein bin Ali bersama pasukannya sekitar 70-an, bertempur melawan pasukan Bani Umayah pimpinan Ibnu Ziyad yang jumlahnya mencapai 4000-an orang. Pada hari itu, hampir semua pasukan Husein tewas termasuk ia sendiri, yang harus mengalami penyiksaan keji sebelum menemui ajal.
Bangsa Arab mengenal moment bersejarah itu sebagai hari Asyura, hari ke-10 di bulan Muharam. Sejarah peperangan paling keji dalam dunia islam, dan kaum muslim Syiah, umat yang memegang teguh ajaran Nabi Muhammad serta Ahlul Bait menjadikan hari itu sebagai hari berkabung. Kematian Husein putra Fatimah Az Zahra, putri Nabi Muhammad, menyisakan luka mendalam di benak kalangan Syiah. Hingga kini, umat muslim Syiah masih memperingati kematian Husein di hari Asyura. Ribuan kilometer dari Jazirah Arab, Kota Pariaman tak luput mengenang kematian tragis Imam Husein.
Kesibukan telah muncul sejak awal Muharam, sampai mendekati puncak di hari ke-10. Prosesi Tabuik diawali dengan pengambilan tanah atau maambiak tanah di sungai. Prosesi ini terbagi kedalam dua kelompok, Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Pengambil tanah harus mengenakan kain putih yang bermakna kejujuran. Pengambilan tanah menjadi simbol pengambilan jasad Husein. Tanah yang sudah digenggam lalu dibungkus, sebagai tanda pengkafanan jasad Husein. Selanjutnya tanah diletakkan di sebuah periuk dan disimpan di daraga, tempat yang dibuat khusus untuk prosesi Tabuik.
Setelah mengambil tanah, proses selanjutnya yakni ma'arak sorban, mengenang keberanian Husein bin Ali dalam pertempuran di Padang Karbala.
Sorban Husein diarak, gendang tassa ditabuh, dan warga Pariaman berkeliling kampung. Salah satu rangkaian dari proses panjang ritual Tabuik ini pun mengubah malam di Pariaman yang biasanya sunyi menjadi semarak. Tabuik adalah ritual tua. Berkembang di Pariaman secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
Versi pertama menyebut, Tabuik dibawa orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera, untuk berdagang sekitar tahun 1800. Versi lain mengatakan, sekitar abad 14 setelah Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, ritual Tabuik dipelajari anak Nagari. Disebutkan pula, Tabuik berkembang setelah dibawa Bangsa Cipei atau Sepoy dari India, penganut islam syiah yang dipimpin Imam Kadar Ali. Ketika itu Bangsa Cipei dijadikan serdadu oleh Inggris, saat menguasai Bengkulu dari tangan Belanda.
Tradisi itu kemudian tumbuh di Bengkulu, yang disebut Tabut dan Pariaman, bahkan sampai Banda Aceh, Meulaboh dan Singkil. Sosok lain juga disebut sebagai pencetus Tabuik. Ia adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, penyebar islam pertama di Minangkabau dan Bengkulu. Mengenang sosok Husein bin Ali adalah tradisi Syiah, tapi di Pariaman yang sebagian besar penganut Sunni, Tabuik menjelma menjadi sebuah tradisi kebudayaan khas Pariaman. Tabuik yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husein, telah berhias bunga. Pariaman pun kian riuh. Gairah warga meluap menuju puncak perayaan Asyura.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Puncak perayaan Tabuik telah di depan mata. Tanggal 10 Muharam, cucu baginda rasul, Al Husein bin ali, tewas terbunuh. Kaum muslim di Pariaman mengenang keberanian Husein lewat Tabuik. Warga berduyun-duyun naek pangke. Penyatuan dua usungan Tabuik dari Desa Pasa dan Subarang. Mengingat bentuknya yang menjulang hingga belasan meter, Tabuik yang terdiri dari dua bagian atas dan bawah, dibuat di dua tempat. Penyatuan ini mendekati wujud akhir kerangka Tabuik yang siap dilarung ke laut.
Tua muda, laki dan perempuan tumpah ruah di jalan-jalan Pariaman. Keberanian cucu kesayangan rasul di medan Karbala telah menyatukan mereka.
Ikatan persaudaraan dengan sendirinya menguat. Tak ada lagi batas pemisah antara penganut Syiah dan Sunni. Di mata warga, islam adalah satu. Mengenang sosok Husein adalah sebuah penghormatan tertinggi terhadap Ahlul Bayt atau keluarga Nabi Muhammad. Menjelang senja, dua kerangka Tabuik dari dua desa bertemu. Dulu, ketika prosesi Tabuik kental dengan ideologi perang, dua desa yang terpisah Sungai Pariaman ini menjalani tradisi perkelahian.
Kini, rangkaian prosesi itu ditiadakan. Yang tersisa adalah kegembiraan, terlebih lagi ketika dua kerangka diusung bersama menuju Pantai Gondariah. Tak ada peristiwa sebesar ini di Pariaman selain prosesi Tabuik. Warga percaya, rugi tak turut serta dalam perayaan Tabuik yang telah hidup ratusan tahun lamanya di Pariaman. Laut menjadi persinggahan terakhir prosesi. Laut menjadi tujuan, karena sebagai simbol membuang segala hal perselisihan, juga sebagai wujud terbangnya buroq yang membawa jasad Husein ke surga. (IDS/Vin)

Sumber Berita : Liputan6.com


Author

Written by Admin

Aliquam molestie ligula vitae nunc lobortis dictum varius tellus porttitor. Suspendisse vehicula diam a ligula malesuada a pellentesque turpis facilisis. Vestibulum a urna elit. Nulla bibendum dolor suscipit tortor euismod eu laoreet odio facilisis.

0 comments: